Islam memberikan petunjuk tentang kepemilikan listrik sebagai bagian dari kepemilikan umum kaum Muslim atau milik bersama umat. Pengelolaannya dilakukan sepenuhnya oleh negara, sebagai wakil dari umat, untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rasulullah saw. bersabda: Manusia berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan energi. (HR Abu Dawud).
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah melakukan penaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun 2006 yang lalu.
Alasan utama adalah karena naiknya beban biaya produksi akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Jika kenaikan BBM dunia tinggi, kebutuhan subsidi PLN untuk produksi 2006 – menurut Pemerintah – sekitar Rp38 triliun. Artinya, dibutuhkan subsidi tambahan sebesar Rp 21 triliun lagi untuk menjamin kelangsungan produksi PLN pada kapasitas produksi saat ini. (Tabloid Intelejen, No. 25, Th. II. 10-23/2/2006). Namun kenaikan TDL ini tidak diikuti dengan pelayanan publik yang memadai. Selain itu dalam upaya untuk meningkatkan keandalan listrik dan menambah daya. Karena terjadinya pemadaman listrik, baik terencana (terjadwal) maupun mendadak, itu disebabkan karena PLN kekurangan daya, akibat mesin-mesinnya banyak yang sudah tua dan rusak. Hal tersebut diungkapkan Paryadi S Hut dan Junaidi Bustam SE MH, dimana kedua anggota DPRD Kota Pontianak ini ditemui terpisah waktu diminta komentarnya tentang kelistrikan. “Ini kondisi listrik yang sudah darurat, makanya pemda harus ikut peduli. Bila PLN dikritisi maupun di demo, juga tak akan menyelesaikan masalah. Pasalnya, kendala PLN selama ini hanya kekurangan daya listrik, sehingga melakukan pemadaman berkelanjutan,” tegas Paryadi S Hut, Sekretaris Komisi B DPRD Kota Pontianak kepada koran ini. (http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=Kota&id=143729)
Solusi Ekonomi Konvensional
Pengamat ekonomi di Indonesia banyak yang berpendapat, bahwa mengalihkan beban biaya produksi listrik yang tinggi kepada rakyat melalui kenaikan TDL (yang tidak diikuti pelayanan yang baik) bukanlah satu-satunya alternatif solusi dan juga bukan solusi terbaik. Masih ada alternatif lain yang lebih baik, yaitu mengevaluasi kembali kinerja PLN itu sendiri. PLN saat ini dikenal sebagai perusahaan yang memiliki kinerja dengan 3 kombinasi yang tidak logis, yaitu : sudahlah disubsidi, tarifnya mahal, rugi lagi. Kombinasi yang dianggap logis menurut logika ekonomi konvensional adalah : disubsidi, rugi dan tarifnya murah; atau kombinasi yang lain yaitu: disubsidi, untung, dan tarifnya mahal. (Tabloid Intelejen, No. 25, Th. II. 10-23/2/2006) Paling tidak, ada 3 sumber masalah yang menyebabkan terjadinya kombinasi tidak logis pada PLN tersebut, yaitu : (Tabloid Intelejen, No. 25, Th. II. 10-23/2/2006)
Akar Masalah: Pendekatan 'Dagang'
Teori-teori ekonomi konvensional yang berkembang saat ini tidak pernah keluar dari kerangka ideologi Kapitalisme. Inti ajaran Kapitalisme dalam persoalan ekonomi yang paling “saklar” adalah ekonomi pasar bebas. Pengelolaan ekonomi yang paling baik adalah pengelolaan ekonomi yang diserahkan kepada pihak swasta melalui mekanisme pasar bebas-nya. Semakin sedikit negara ikut campur dalam urusan ekonomi, akan semakin baik ekonomi negara tersebut. (Deliarnov, 1997, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Rajawali Press, Jakarta) Itulah paham yang selama ini menjadi “penjara” bagi segenap pengembangan teori ekonomi konvensional. Akibatnya, tidak pernah ada solusi yang “berani” keluar dari pemikiran ekonomi di atas. Landasan paham seperti ini pulalah yang dijadikan “dalil” oleh pihak IMF dan Bank Dunia untuk memaksa Indonesia agar terus-menerus melakukan liberalisasi ekonomi di semua sektornya, termasuk sektor listrik. Satu persatu perusahaan milik negara “dipreteli” melalui program privatisasi dan divestasi sehingga menjadi milik swasta, yang ujung-ujungnya tidak lain adalah swasta asing, yaitu para kapitalis kelas dunia. Akibatnya penjajahan mereka atas negara-negara seperti Indonesia ini tetap bisa dilesatarikan. (Budi Warsono, 2004, Globalisasi Wujud Imperialisme baru – Peran Negara Dalam Pembangunan. Tajidu Press, Yogyakarta). Perubahan status PLN dari perusahaan jawatan yang elbih berorientasi pada pelayanan menjadi PT yang lebih beroreintasi laba/profit, yang sahamnya boleh dibeli oleh pihak swasta manapun, demikian juga munculnya listrik swasta yang mengharuskan PLN membeli “strum”-nya dengan harga yang mahal, merupakan bagian dari skenario di atas. Oleh karena itu akar permasalahannya tidak hanya sekedar apakah PLN sudah terbebas dari segala bentuk korupsi atau tidak, termasuk juga apakah PLN sudah efesien dalam pengelolaanya atau belum. Tidak hanya sekedar itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah status PLN yang berbentuk PT dan berorientasi pada profit tersebut dapat dibenarkan atau tidak? Juga keberadaan swasta, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Inilah titik persoalannya.
Solusi Islam
Seperti pemaparan diawal tadi bahwa Islam memberikan petunjuk tentang kepemilikan listrik sebagai bagian dari kepemilikan umum kaum Muslim atau milik bersama umat. Pengelolaannya dilakukan sepenuhnya oleh negara, sebagai wakil dari umat, untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rasulullah saw. bersabda: Manusia berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan energi. (HR Abu Dawud). Hadis tersebut memberikan pengertian pada sarana umum. Tentu saja sarana umum tidak terbatas pada ketiga jenis barang di atas; di dalamnya termasuk listrik. Sarana umum ini, menurut Islam, adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh pribadi atau swasta. Oleh karena itu, langkah melakukan privatisasi PLN sejak 10 tahun lalu tidak bisa dibenarkan menurut hukum Islam. Sebab, dengan privatisasi itu berarti negara menjual barang/aset yang bukan miliknya. Bumi, air, sungai, lautan, tambang-tambang, hutan, jalan-jalan, dan segala sarana dan prasarana umum, termasuk yang dikelola PLN adalah milik umum kaum Muslim. PLN sebagai alat negara (dulu saat menjadi Perum) adalah hanya pemegang amanah untuk mengelola harta milik umum. Karena itu, dalam kasus ini, manakala memang PLN tidak bisa diefisienkan lagi, maka subsidi harus dipertahankan bahkan ditingkatkan (dengan laba PLN sama dengan nol) agar mendapatkan harga TDL termurah (bahkan kalau bisa gratis) bagi mayarakat umum penguna listrik rumah tangga. Subsidi dari mana? Dari hasil ekspolitasi hutan, lautan, tambang-tambang minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya. Dengan itu ada harapan TDL turun dan rakyat hidup lebih sejahtera. Namun demikian, jika dalam keadaan tertentu (suatu misal) Negara benar-benar tidak mampu untuk mengelola dan mengoperasikan sendiri pengadaan listrik bagi rakyatnya, maka dalam pandangan Islam, Negara boleh menyerahkannya kepada pihak swasta, dengan catatan, status pihak swasta tersebut hanya sebagai pekerja yang dibayar – dengan akad ijarah-ajir- oleh Negara. Dengan demikian, jika rakyat harus membayar listrik, itu hanya sekedar untuk menutup biaya operasional atau biaya produksi saja. Pemerintah tetap tidak boleh mengambil untung dari aktivitas pelayanan listrik bagi rakyatnya. (Abdurrahman al-Maliki, 2001, Politik Ekonomi Islam, Terj. Ibnu Sholah, Al-Izzah, Bangil)
Agar Listrik Murah
Sesungguhnya persoalan listrik tidaklah berdiri sendiri. Ia tentu terkait dengan sumber-sumber energi lain, yaitu : BBM, batubara, gas, tenaga air, tenaga panas bumi, tenaga matahari, tenaga nuklir, dsb. Seluruh sumber energi tersebut harus tetap didudukkan sebagai kepemilikan umum. Oleh karena itu, peran pemerintah hanya satu, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, dengan semurah-murahnya, syukur-syukur bisa gratis. Islam memberikan prinsip pengelolaan bagi Pemerintah, yakni: memberikan kemudahan bukan memberi kesulitan pada masyarakat. Rasulullah saw. Bersabda, tatkala beliau berpesan kepada dua orang gebernur baru yang akan memerintah di Yaman: Mudahkanlah mereka dan janganlah kalian persulit. (HR al-Bukhari dan Muslim). Melihat berbagai fenomena di atas, maka kami Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan wilayah Kalimantan Barat menyerukan:
Alasan utama adalah karena naiknya beban biaya produksi akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Jika kenaikan BBM dunia tinggi, kebutuhan subsidi PLN untuk produksi 2006 – menurut Pemerintah – sekitar Rp38 triliun. Artinya, dibutuhkan subsidi tambahan sebesar Rp 21 triliun lagi untuk menjamin kelangsungan produksi PLN pada kapasitas produksi saat ini. (Tabloid Intelejen, No. 25, Th. II. 10-23/2/2006). Namun kenaikan TDL ini tidak diikuti dengan pelayanan publik yang memadai. Selain itu dalam upaya untuk meningkatkan keandalan listrik dan menambah daya. Karena terjadinya pemadaman listrik, baik terencana (terjadwal) maupun mendadak, itu disebabkan karena PLN kekurangan daya, akibat mesin-mesinnya banyak yang sudah tua dan rusak. Hal tersebut diungkapkan Paryadi S Hut dan Junaidi Bustam SE MH, dimana kedua anggota DPRD Kota Pontianak ini ditemui terpisah waktu diminta komentarnya tentang kelistrikan. “Ini kondisi listrik yang sudah darurat, makanya pemda harus ikut peduli. Bila PLN dikritisi maupun di demo, juga tak akan menyelesaikan masalah. Pasalnya, kendala PLN selama ini hanya kekurangan daya listrik, sehingga melakukan pemadaman berkelanjutan,” tegas Paryadi S Hut, Sekretaris Komisi B DPRD Kota Pontianak kepada koran ini. (http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=Kota&id=143729)
Solusi Ekonomi Konvensional
Pengamat ekonomi di Indonesia banyak yang berpendapat, bahwa mengalihkan beban biaya produksi listrik yang tinggi kepada rakyat melalui kenaikan TDL (yang tidak diikuti pelayanan yang baik) bukanlah satu-satunya alternatif solusi dan juga bukan solusi terbaik. Masih ada alternatif lain yang lebih baik, yaitu mengevaluasi kembali kinerja PLN itu sendiri. PLN saat ini dikenal sebagai perusahaan yang memiliki kinerja dengan 3 kombinasi yang tidak logis, yaitu : sudahlah disubsidi, tarifnya mahal, rugi lagi. Kombinasi yang dianggap logis menurut logika ekonomi konvensional adalah : disubsidi, rugi dan tarifnya murah; atau kombinasi yang lain yaitu: disubsidi, untung, dan tarifnya mahal. (Tabloid Intelejen, No. 25, Th. II. 10-23/2/2006) Paling tidak, ada 3 sumber masalah yang menyebabkan terjadinya kombinasi tidak logis pada PLN tersebut, yaitu : (Tabloid Intelejen, No. 25, Th. II. 10-23/2/2006)
- Banyak terjadi korupsi di tubuh PLN.
- Ketidakefesienan dalam pengelolaan PLN.
- Pengadaan lisrik swasta melalui sejumlah konsorsium, yang mengharuskan PLN membeli listriknya dengan harga yang mahal.
Akar Masalah: Pendekatan 'Dagang'
Teori-teori ekonomi konvensional yang berkembang saat ini tidak pernah keluar dari kerangka ideologi Kapitalisme. Inti ajaran Kapitalisme dalam persoalan ekonomi yang paling “saklar” adalah ekonomi pasar bebas. Pengelolaan ekonomi yang paling baik adalah pengelolaan ekonomi yang diserahkan kepada pihak swasta melalui mekanisme pasar bebas-nya. Semakin sedikit negara ikut campur dalam urusan ekonomi, akan semakin baik ekonomi negara tersebut. (Deliarnov, 1997, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Rajawali Press, Jakarta) Itulah paham yang selama ini menjadi “penjara” bagi segenap pengembangan teori ekonomi konvensional. Akibatnya, tidak pernah ada solusi yang “berani” keluar dari pemikiran ekonomi di atas. Landasan paham seperti ini pulalah yang dijadikan “dalil” oleh pihak IMF dan Bank Dunia untuk memaksa Indonesia agar terus-menerus melakukan liberalisasi ekonomi di semua sektornya, termasuk sektor listrik. Satu persatu perusahaan milik negara “dipreteli” melalui program privatisasi dan divestasi sehingga menjadi milik swasta, yang ujung-ujungnya tidak lain adalah swasta asing, yaitu para kapitalis kelas dunia. Akibatnya penjajahan mereka atas negara-negara seperti Indonesia ini tetap bisa dilesatarikan. (Budi Warsono, 2004, Globalisasi Wujud Imperialisme baru – Peran Negara Dalam Pembangunan. Tajidu Press, Yogyakarta). Perubahan status PLN dari perusahaan jawatan yang elbih berorientasi pada pelayanan menjadi PT yang lebih beroreintasi laba/profit, yang sahamnya boleh dibeli oleh pihak swasta manapun, demikian juga munculnya listrik swasta yang mengharuskan PLN membeli “strum”-nya dengan harga yang mahal, merupakan bagian dari skenario di atas. Oleh karena itu akar permasalahannya tidak hanya sekedar apakah PLN sudah terbebas dari segala bentuk korupsi atau tidak, termasuk juga apakah PLN sudah efesien dalam pengelolaanya atau belum. Tidak hanya sekedar itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah status PLN yang berbentuk PT dan berorientasi pada profit tersebut dapat dibenarkan atau tidak? Juga keberadaan swasta, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Inilah titik persoalannya.
Solusi Islam
Seperti pemaparan diawal tadi bahwa Islam memberikan petunjuk tentang kepemilikan listrik sebagai bagian dari kepemilikan umum kaum Muslim atau milik bersama umat. Pengelolaannya dilakukan sepenuhnya oleh negara, sebagai wakil dari umat, untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rasulullah saw. bersabda: Manusia berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan energi. (HR Abu Dawud). Hadis tersebut memberikan pengertian pada sarana umum. Tentu saja sarana umum tidak terbatas pada ketiga jenis barang di atas; di dalamnya termasuk listrik. Sarana umum ini, menurut Islam, adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh pribadi atau swasta. Oleh karena itu, langkah melakukan privatisasi PLN sejak 10 tahun lalu tidak bisa dibenarkan menurut hukum Islam. Sebab, dengan privatisasi itu berarti negara menjual barang/aset yang bukan miliknya. Bumi, air, sungai, lautan, tambang-tambang, hutan, jalan-jalan, dan segala sarana dan prasarana umum, termasuk yang dikelola PLN adalah milik umum kaum Muslim. PLN sebagai alat negara (dulu saat menjadi Perum) adalah hanya pemegang amanah untuk mengelola harta milik umum. Karena itu, dalam kasus ini, manakala memang PLN tidak bisa diefisienkan lagi, maka subsidi harus dipertahankan bahkan ditingkatkan (dengan laba PLN sama dengan nol) agar mendapatkan harga TDL termurah (bahkan kalau bisa gratis) bagi mayarakat umum penguna listrik rumah tangga. Subsidi dari mana? Dari hasil ekspolitasi hutan, lautan, tambang-tambang minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya. Dengan itu ada harapan TDL turun dan rakyat hidup lebih sejahtera. Namun demikian, jika dalam keadaan tertentu (suatu misal) Negara benar-benar tidak mampu untuk mengelola dan mengoperasikan sendiri pengadaan listrik bagi rakyatnya, maka dalam pandangan Islam, Negara boleh menyerahkannya kepada pihak swasta, dengan catatan, status pihak swasta tersebut hanya sebagai pekerja yang dibayar – dengan akad ijarah-ajir- oleh Negara. Dengan demikian, jika rakyat harus membayar listrik, itu hanya sekedar untuk menutup biaya operasional atau biaya produksi saja. Pemerintah tetap tidak boleh mengambil untung dari aktivitas pelayanan listrik bagi rakyatnya. (Abdurrahman al-Maliki, 2001, Politik Ekonomi Islam, Terj. Ibnu Sholah, Al-Izzah, Bangil)
Agar Listrik Murah
Sesungguhnya persoalan listrik tidaklah berdiri sendiri. Ia tentu terkait dengan sumber-sumber energi lain, yaitu : BBM, batubara, gas, tenaga air, tenaga panas bumi, tenaga matahari, tenaga nuklir, dsb. Seluruh sumber energi tersebut harus tetap didudukkan sebagai kepemilikan umum. Oleh karena itu, peran pemerintah hanya satu, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, dengan semurah-murahnya, syukur-syukur bisa gratis. Islam memberikan prinsip pengelolaan bagi Pemerintah, yakni: memberikan kemudahan bukan memberi kesulitan pada masyarakat. Rasulullah saw. Bersabda, tatkala beliau berpesan kepada dua orang gebernur baru yang akan memerintah di Yaman: Mudahkanlah mereka dan janganlah kalian persulit. (HR al-Bukhari dan Muslim). Melihat berbagai fenomena di atas, maka kami Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan wilayah Kalimantan Barat menyerukan:
- Tolak segala kebijakan yang akan memberatkan rakyat dan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
- Hentikan privatisasi di berbagai sektor publik dan menolak kapitalisasi di bidang ekonomi serta segala aspek lainnya.
- Kembalikan pemanfaatan hasil sumber daya alam seutuhnya untuk kepentingan rakyat.
- Kembali pada syari’at Islam dalam menyelesaikan berbagai problematika umat dan menegakkan kembali kepemimpinan Islam, yaitu Khilafah Islamiyyah.
0 komentar:
Posting Komentar