Proses
Demokratisasi kepemimpinan di Indonesia telah melalui tahapan panjang. Di mulai
pasca Kemerdekaan dengan multi partai, masa orde baru dengan tiga elemen partai
yang mewakili masing-masing kepentingan di mana Golkar menjadi anak emas, dan
pasca reformasi dengan tahapan multi partai yang berlanjut kepada pemilihan
langsung. Demokrasi telah memberikan pembelajaran politik “yang menggembirakan”
bagi para pebisnis dan juga “yang membuat gila” para aktor pelaku dan mereka
yang menjadi pusing karena prosesnya.
Bakat dan
kemampuan yang dimiliki oleh para wakil dan pemimpin bukan menjadi patokan
utama. Karena justru yang adalah seberapa besar modal dan keuntungan yang dapat
didapat oleh mereka untuk partai dan kepentingan lainnya. Kita tahu secara
fakta, di Negeri ini orang yang terpilih bukan dilandasi dengan ide keren,
ideologis dan memberikan solusi konkrit tetapi justru karena mereka memiliki
dana untuk menawar kepada lembaga dan partai serta proyek bekenisasi yang
digagas untuk menggulirkan kepentingan menuju yang diharapkan.
Justru pada
faktanya, proses pemilihan ini menghasilkan sampah. Sampah yak arena justru
membutuhkan kertas, kain, plastic dan berbagai atribut kampanye. Mereka yang
maju harus
“bekenisasi” dan
perlu melakukan manuver-manuver penting guna meraih capaian kesuksesan pribadi
dan partai. Sampah-sampah itu bergulir bukan dalam sekali dan sehari justru
terus digulirkan untuk menuai harapan orang mengingat wajah dalam pemilihan
nantinya. Para pemilih tidak melihat visi dan misi, Program-program kerja, justru
yang ada penawaran-penawaran model-model baligho, reklame, pamflet, leaflet,
iklan dan lain-lain.
Produk-produk
yang keluar pada akhirnya bukan menyadarkan justru kreativitas antar calon dan
partai dalam membuat baligho paling banyak, paling kreatif dan paling mudah
ditemui. Alhasil, kita bisa melihat ada calon yang memiripkan wajahnya dengan
obama, ada pula calon yang menggandalkan sisi keartisannya atau anaknya yang
artis, juga terlihat ada calon yang melakukan gerakan salto, terlihat pula
kata-kata aneh nan lucu yang begitu banyak dan panjang yang terpajang di
ruas-ruas tol, ada pun yang gambar dan modelnya di buat kreatif, hingga
bergandeng dengan artis terkenal.
Sedangkan saat
kita telisik visi, misi, program kerja dan kemampuan mereka justru kita temukan
tidak ada. Di sisi lain, ada iklan televisi yang saling mengklaim soal
swasembada pertanian, juga partai yang menampilkan artis-artis, nyanyian,
gambar-gambar serta video menarik, juga hasil survey di masyarakat.
Jadi apa yang
kita harapkan dari mereka? Inilah sistem Demokrasi yang berharap menghasilkan
sosok pemimpin instan tanpa melihat baik dan buruknya, seorang pemikir dan
pemalas, yang gila uang atau memang ikhlas dalam berjuang. Demokrasi telah
menampilkan sosok-sosok bisu dihadapan rakyat, enggan mewacanakan suara nurani
rakyat. Maka alasan apa yang membuat kita bertahan pada sistem kepemimpinan di
dalam Demokrasi.
Hiburan Politik
Kenyataan di
atas memperhatikan bahwa para pemilih dihadapkan pada sebuah fenomena bernama hiburan.
Kita bisa melihat bagaimana Sinetron dalam bentuk berita dan fenomena pemilu
begitu terasa. Masyarakat begitu disenangkan dengan hadirnya artis-artis dalam
panggung yang benar-benar sama sekali tidak menunjukan kesadaran politik para
pemilih. Yang ada permainan jari yang diangkat dengan berputar-putar sambil mengikuti
irami dangdut atau pop yang dilantunkan para musisi.
Sedangkan ketika
sang calon wakil rakyat dan pemimpin naik dan berkesempatan bicara mereka tak
mampu memberikan ketertarikan konstituen terhadapnya. Karena acara utamanya bukan
pemibcaraan politik tetapi para artis yang nongol dan menunjukan kemampuannya.
Ini ditambah
retorika-retorika kosong. Berputar-putar pada hal umum, janji-janji dan bualan
kosong yang terus dikumandangkan. Entah itu partai yang berbasis massa
nasionalisme, agama maupun kelompok massa tertentu. Para calon tidak lebih
hanya menjadi bumbu bukan hal utama. Sementara saat debat terbuka, yangterlihat
justru atraksi dan yel-yel menarik para pendukung
dibandingkan
jawaban-jawaban semu mereka.
Demokrasi
benar-benar mendidik. Mendidik para politikus ulung untuk belajar meraih massa
tanpa memberikan visi, misi dan program mereka yang tidak pernah jelas.
Mendidik untuk belajar lagi bagaimana mensukseskan kemenangan tanpa harus
berkorban pemikiran, dan juga menyambangi suara-suara konstituen.
Selebihnya,
hiburan-hiburan lainnya membuat kotor dunia dan lingkungan. tertempel lengket
dan kuat dalam dinding walaupun masa tenang berada dan pemilihan telah berlalu.
Kita pun bisa
melihat,
bagaimana mereka yang telah lolos dalam proses pemilu yang duduk menjadi
anggota dewan dan pemimpin ternyata masih juga memberikan dagelan sinetron. Ada
yang telah bernyanyi, tertidur pulas di kursi empuk, ada yang berlaga marah,
ada pula yang berlaga seakan-akan menjadi pahlawan. Yang seringkali terlihat
adalah adegan penangkapan kepolisian akibat tindak korupsi mereka yang sedang
dan tealh menjabat.
Mengajari Partai
Politik
Suatu ketika
saya melintasi halaman kecamatan di kabupaten tertentu, saya melihat baligho
besar terpampang di sana. Musyawarah cabang partai tertentu tertulis di sana.
Kegiatan yang sama dilakukan beberapa partai juga. Entahlah, apakah ini yang
disebut partai politik di mana kehidupan dunia sosial lebih suka mereka jamah
daripada kesadaran masyarakat tentang politik itu sendiri. Ladang urusan sosial
yang harusnya lebih banyak dilakukan oleh lembaga zakat dan social ternyata
juga disaingi pula oleh partai politik.
Selain itu hal
yang membuat miris, masyarakat akhirnya tidak pernah paham tujuan dan fungsi
partai politik itu sendiri. Masyarakat hanya akan melihat seberapa besar
bantuan beras, kesehatan, lomba mewarnai yang dilakukan oleh partai tersebut
bukan dilihat dari apakah partai politik ini memberikan jaminan membela rakyat
atau tidak. Dalam masalah lainnya kita dapat menilik bahwa partai politik harus
menyiapkan dana begitu besar bukan sekedar untuk promosi dan publikasi, tetapi
saja harus juga dapat membayar dana sosial secara nyata kepada masyarakat.
Inilah kualitas dan kuantitas partai politik yang ada. Citra dan gaya ini
adalah penularan dari bentuk partai politik di Dunia Barat yang telah
ditinggalkan mereka, dan baru
berkembang di
negeri zamrud khatulistiwa ini.
Selain itu,
dalam masalah pengkaderan dan perwakilan, tampaknya partai politik telah gagal
menunjukan kader-kader mereka, yang ada mereka hanya stagnan dan mengambil
calon-calon instan. Akhirnya, partai, Idealisme dan Ideologi partai terpaksa
digadai terlebih dahulu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Sementara para
kader yang berada di tataran bawah terpaksa harus “nerimo” atas gagasan yang
membingungkan dari para pemimpin partai.
Sepertinya
partai politik itu harus belajar banyak kepada OSIS (Orientasi Siswa Intra
Sekolah) kalau ternyata tidak mampu membedakan organisasi dan partai. Alangkah
lucu memang Demokrasi, memelihara begitu banyak partai politik, namun pada
faktanya pengelolaannya begitu semu dan kosong.
Ongkos Politik
Mahal
Kira-kira berapa
biaya jika anda harus mengundang Band besar untuk menyanyikan beberapa lagu?
Sudah ditebak angkanya bisa puluhan juta. Itu baru mengundang satu band saja.
Belum mengundang band, artis dan lain-lain untuk tampil di pentas panggung
kampanye terbuka. Juga perlu kita pikirkan di seluruh Indonesia, berapa dana
yang dikeluarkan oleh mereka yang bergelut pada panggung Demokrasi? Angkanya
bisa mencapai jutaan bahkan Puluhan Milyar. Ini merupakan hal yang aneh, ketika
masyarakat dihujani dengan kemiskinan dan mahalnya harga-harga justru para
calon anggota dewan terus memberikan kesenjangan saat periode pemilu.
Pada akhirnya,
mereka yang habis-habisan dengan modal tersebut mau tidak mau harus berniat
mengembalikan modal. Bila perlu untung. Inilah bencana politik. Kenapa bencana?
Karena pada akhirnya kehidupanmasyarakat harus dipertaruhkan kepada modal,
sementara perpolitikan yang diharapkan ummat harus diabaikan untuk
mengembalikan modal dan keuntungan.
Jebakan-Jebakan
Demokrasi
Politik
Demokrasi di dunia barat digambarkan dengan upaya sntitesis dari keberadaan
dictator. Ini ditandai dengan revolusi politik di Perancis, yang mana kekuasaan
para raja harus berakhir dengan lahirnya pemahaman politik Demokrasi di
tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya kita
menyadari bahwa
Demokrasi telah menjebak secara nyata dan membuat polemik di tengah-tengah
masyarakat. Setidaknya ada 2 hal, yang membuat Demokrasi menjebak kita semua.
1. Bagaimana
meraih suara terbanyak yang mana suara mereka yang berpendidikan tinggi dan
sadar politik harus bersaing dengan mereka yang berpendidikan rendah dan tidak
sadar tentang politik. Kita bisa melihat secara jelas, tatkala PAN dan Amien
Rais menjadi symbol perubahan politik orde baru ke reformasi tak mampu
menduduki kejayaan. Tahu kenapa? Karena pada dasarnya Mesin Keuangan lebih akan
mudah menjalar dan mempengaruhi daripada sekedara retorika politik.
2. Pihak yang
mendapat suara terbanyak belum tentu otomatis didukung dalam segala sikap
politiknya. Ini terjadi di FIS di Maroko tahun 1991 dan Partai Refah di Turki
era 1996. Pemilu tahun 1999 yang memenangkan PDIP, namun pada faktanya Gusdur
yang dilantik. Dan Tahun 2004 dimana kursi presiden dijabat oleh Soesilo
Bambang Yudhoyono namun pada faktanya Jusuf Kalla yang banyak berbuat.
Jalan untuk
menegakkan syariah islam bukanlah jalan yang mudah. Bahkan terasa sulit dan
sukar. Namun, begitulah manusia senantiasa mau mencari jalan mudah danringan
meskipun harus berhadapan dan berdampingan dalam kekotoran yang seringkali
memberikan pengaruh besar bagi kelompok tersebut untuk lupa pada tujuan mereka.
“Kami telah menunjukkan
kepadanya dua jalan, namun ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar”
(QS. Al-Balad(90):10-11) .
Suara mayoritas,
dengan memberlakukan one man one vote telah memaksa individu dan partai politik
untuk menjadikan logika jumlah dalam pelaksanaannya dibandingkan dengan
mempertahankan idealisme dan ideologi partai itu sendiri. Inilah sosok dan
wujud Demokrasi, di mana menjual kalimat “Kami bersih dan peduli”, “Bersama
wong cilik” “Beras murah”, dan segelintir janji-janji kosong lainnya lebih
mudah dibandingkan dengan menjadikan visi, misi, idealisme dan ideologi partai
yang disampaikan pada masyarakat.
Inilah yang
menyebabkan timbulnya revolusi dalam melakukan perubahan di suatu negeri,
karena pada dasarnya mesin perpolitikan Demokrasi hanya berjalan ditempat, dan
suara-suara rakyat yang terwakili hanya diam. Mereka baru akan keluar, tatkala
mereka menginginkan citra
dan naiknya
sosok mereka serta partai sebagai pembela rakyat demi kepemimpinan politik yang
kotor.
Politik
Demokrasi sudah usang dan layak ditempatkan pada tempat sampah. Sudah saatnya
pergantian bukan sekedar rezim belaka, namun juga sistemnya pun harus segera
digantikan. Karena jelas tidak ada cara lain kecuali menyelamatkan negeri ini
dengan sistem islam, bukan dengan Demokrasi. []
Pengurus: GEMA Pembebasan Daerah Bandung Jabar
0 komentar:
Posting Komentar